Situ Lengkong Panjalu

Diposting oleh Dina Panjalu Sabtu, 12 September 2009

Boleh dibilang Situ Lengkong Panjalu adalah objek wisata yang paling banyak dikunjungi di kawasan Ciamis Utara. Setiap harinya pengunjung mendatangi Situ Lengkong Panjalu. Tidak kurang dari dua bis besar selalu terparkir setiap harinya di pelataran parkir kawasan objek wisata Situ Lengkong Panjalu. Selain karena danau, pemandangan dan kesejukannya, Situ Lengkong Panjalu juga memiliki niali historis agama yang diyakini oleh banyak kalangan terutama umat muslim. Karena itulah, selain wisatawan yang memang bertujuan berwisata, pengunjung juga banyak diantaranya adalah para peziarah.

          Menurut sejarah Panjalu, Situ Lengkong bukanlah danau alam yang terjadi dengan sendirinya akan tetapi hasil buatan leluhur Panjalu dimasa dahulu kala. Sejak lebih kurang abad kelima Masehi di Panjalu telah ada Kerajaan Hindu yang bernama Kerajaan Panjalu. Awal abad ke enam Raja yang memerintah ialah Prabu Sanghiyang Cakra Dewa. Raja berkeinginan agar putra mahkota sebagai calon pengganti Raja haruslah memiliki terlebih dahulu, ilmu yang paling ampuh dan paling sempurna. Berangkatlah sang putra mahkota: “Ngalalana”/merantau untuk mendapatkan ilmu tersebut. Dia berguru dan menimba ilmu dari para wiku, resi dan para pertapa sehingga memiliki berbagai ilmu kedigjayaan. Namun dia merasa belum menemukan ilmu yang sempurna. 

         Sang Prabu Anom pun terus menerus melakukan  perjalanan dalam pencariannya hingga sampailah ia di Negeri Makkah/Tanah Suci Mekah. Disana dia bertemu dengan Sayidina Ali RA dalam rupa seorang kakek-kakek di padang pasir. Dengan ilmu yang dimilikinya, Sanghyang Borosngora yakin kalau kakek-kakek itu memiliki ilmu yang tinggi. Maka ditantanglah beliau untuk mengadu ilmu dengan pertaruhan bahwa jika si kakek itu mampu dikalahkan dia akan yakin ilmu yang dimilikinya telah sempurna. Si kakek menolak, dia merendah dan mengatakan dia bukan siapa-siapa. Sanghyang Borosngora bukanlah orang yang mudah menyerah, dia terus berusaha hingga si kakek mengajukan sebuah permintaan. Dia meminta Sang Putra Mahkota untuk mencabut tongkat yang menancap di tanah sebagai ujian. Pada awalnya Sanghyang Borosngora menganggap enteng permintaan tersebut. Ternyata segala imu dikerahkan tetap tidak mampu mencabut sang tongkat. Tidak sebentar perjuangannya tapi sampai berhari-hari hingga akhirnya dia menyerah. Dia menyadari bahwa dia ternyata tidak mampu bahkan hanya untuk mencabut sebuah tongkat. Kemudian dia meminta si kakek menunjukan padanya ilmu yang sangat sempurna itu. Si kakek menuntun Sanghiyang Borosngora untuk mengucapkan dua kalimah syahadat kemudian dengan mengucapkan Basmallah Sanghiyang Borosngora dengan sangat mudah dapat mencabut tongkat tersebut. 

          Sejak saat itu Sanghiyang Borosngora menjadi pemeluk agama Islam dan mempelajari serta memperdalam keislamannya hingga menjalankan rukun islam ke-5 yaitu ibadah haji. Barulah kemudian beliau kembali ke Panjalu untuk menyebarkan agama islam dan mengislamkan rakyatnya. Sebelum pulang Sayidina Ali menghadiahkan sebilah pedang dan tongkat (cis) serta air zam-zam yang dapat mengisi penuh gayung bungbas (gayung bungbas adalah gayung seloka yang tidak beralas). 

         Air zam-zam ini kemudian ditumpahkan oleh Sanghyang Borosngora di sebuah lembah bernama Pasir Jambu yang mengelilingi sebuah pulau kecil, kemudian lembah itu airnya bertambah banyak dan terjadilah danau yang sekarang terkenal dengan sebutan Situ Lengkong Panjalu. Banyak orang meyakini air Situ Lengkong Panjalu adalah air zam-zam dari tanah suci Makkah. Para peziarah yang datang biasanya membawa tempat air untuk membawa air ke tempat tinggalnya. Bahkan, ada juga penyedia jasa tempat air seperti botol bekas air mineral di sekitar Situ Lengkong Panjalu.

0 komentar

Posting Komentar

bookmark
bookmark
bookmark
bookmark
bookmark