Tepat ditengah-tengah Situ Lengkong Panjalu terdapat pulau kecil yang oleh penduduk setempat dinamakan Nusa Gede atau Nusa Panjalu. Sebagian lainnya ada yang menyebutnya Nusalarang. Tetapi, pada zaman penjajahan Belanda, “pulau” kecil tersebut sempat dinamakan Pulau Koorders.  Masing-masing nama pulau kecil tersebut memiliki arti sendiri-sendiri. Nusa Gede artinya adalah nusa besar, kenapa disebut nusa besar karena pada awalnya (jaman dahulu) ada nusa kecil yang letaknya tidak jauh dari Nusa Gede. Begitupun dengan sebutan Nusa Larang mempunyai makna nusa terlarang/keramat dimana di kawasan pulau tersebut terdapat pantangan-pantangan yang harus ditaati dan jika tidak akan berdampak buruk bagi yang bersangkutan. Sedangkan sebutan Pulau Koorders adalah dimaksudkan sebagai penghargaan kepada Dr Koorders yang merupakan pendiri dan sekaligus ketua pertama Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming, sebuah perkumpulan perlindungan alam Hindia Belanda yang didirikan tahun 1863. Dia adalah seseorang yang menaruh perhatian besar pada botani, Koorders telah memelopori pencatatan berbagai jenis pohon yang ada di Pulau Jawa. Karyanya adalah sebuah buku berjudul “Bijdragen tot de Kennis der Boomsoorten van Java” sebuah buku yang merupakan sumbangan pengetahuan tentang inventarisasi pohon-pohon yang tumbuh di Pulau Jawa.

          Nusa Gede kemudian ditetapkan sebagai Cagar Alam dengan diterbitkannya Surat Keputusan Gubernur Jendral No. 6 Tahun 1919 (Stat blat No.90) tanggal 12 Februari 1919 tentang penunjukan status Kawasan Hutan Panjalu menjadi Cagar Alam seluas 14,35 ha. Sebagai cagar alam, Nusalarang juga memiliki vegetasi hutan primer yang relatif masih utuh dan tumbuh secara alami. Diantaranya berbagai jenis flora, seperti kondang (Ficus variegata), kileho (Sauraula Sp), dan kihaji (Dysoxylum). Di bagian bawahnya tumbuh tanaman rotan (Calamus Sp), tepus (Zingiberaceae), dan langkap (Arenga). Sedangkan fauna yang hidup di pulau tersebut antara lain tupai (Calosciurus nigrittatus), burung hantu (Otus scops), dan kalong (Pteropus vampyrus).

Pada masa pemerintahan Sanghyang Borosngora istana kerajaan Panjalu dipindahkan dari Pasir Dayeuh Luhur ke Nusa Gede sehingga dengan demikian air situ lengkong sekaligus berfungsi sebagai benteng pertahanan keraton. Untuk kepentingan perhubungan dibuatlah jembatan yang disebut Cukang Padung yaitu jembatan yang dibuat dari balok-balok kayu. Disebelah barat Nusa Gede terdapat Nusa Pakel dan Hujung Winangun. Nusa Pakel tadinya merupakan taman istana tempat dipeliharanya beraneka macam buah-buahan dan taman bunga sebagai tempat rekreasi Baginda Raja. Sedangkan Hujung Winangun adalah tempat bekas kepatihan.

Boleh dibilang Situ Lengkong Panjalu adalah objek wisata yang paling banyak dikunjungi di kawasan Ciamis Utara. Setiap harinya pengunjung mendatangi Situ Lengkong Panjalu. Tidak kurang dari dua bis besar selalu terparkir setiap harinya di pelataran parkir kawasan objek wisata Situ Lengkong Panjalu. Selain karena danau, pemandangan dan kesejukannya, Situ Lengkong Panjalu juga memiliki niali historis agama yang diyakini oleh banyak kalangan terutama umat muslim. Karena itulah, selain wisatawan yang memang bertujuan berwisata, pengunjung juga banyak diantaranya adalah para peziarah.

          Menurut sejarah Panjalu, Situ Lengkong bukanlah danau alam yang terjadi dengan sendirinya akan tetapi hasil buatan leluhur Panjalu dimasa dahulu kala. Sejak lebih kurang abad kelima Masehi di Panjalu telah ada Kerajaan Hindu yang bernama Kerajaan Panjalu. Awal abad ke enam Raja yang memerintah ialah Prabu Sanghiyang Cakra Dewa. Raja berkeinginan agar putra mahkota sebagai calon pengganti Raja haruslah memiliki terlebih dahulu, ilmu yang paling ampuh dan paling sempurna. Berangkatlah sang putra mahkota: “Ngalalana”/merantau untuk mendapatkan ilmu tersebut. Dia berguru dan menimba ilmu dari para wiku, resi dan para pertapa sehingga memiliki berbagai ilmu kedigjayaan. Namun dia merasa belum menemukan ilmu yang sempurna. 

         Sang Prabu Anom pun terus menerus melakukan  perjalanan dalam pencariannya hingga sampailah ia di Negeri Makkah/Tanah Suci Mekah. Disana dia bertemu dengan Sayidina Ali RA dalam rupa seorang kakek-kakek di padang pasir. Dengan ilmu yang dimilikinya, Sanghyang Borosngora yakin kalau kakek-kakek itu memiliki ilmu yang tinggi. Maka ditantanglah beliau untuk mengadu ilmu dengan pertaruhan bahwa jika si kakek itu mampu dikalahkan dia akan yakin ilmu yang dimilikinya telah sempurna. Si kakek menolak, dia merendah dan mengatakan dia bukan siapa-siapa. Sanghyang Borosngora bukanlah orang yang mudah menyerah, dia terus berusaha hingga si kakek mengajukan sebuah permintaan. Dia meminta Sang Putra Mahkota untuk mencabut tongkat yang menancap di tanah sebagai ujian. Pada awalnya Sanghyang Borosngora menganggap enteng permintaan tersebut. Ternyata segala imu dikerahkan tetap tidak mampu mencabut sang tongkat. Tidak sebentar perjuangannya tapi sampai berhari-hari hingga akhirnya dia menyerah. Dia menyadari bahwa dia ternyata tidak mampu bahkan hanya untuk mencabut sebuah tongkat. Kemudian dia meminta si kakek menunjukan padanya ilmu yang sangat sempurna itu. Si kakek menuntun Sanghiyang Borosngora untuk mengucapkan dua kalimah syahadat kemudian dengan mengucapkan Basmallah Sanghiyang Borosngora dengan sangat mudah dapat mencabut tongkat tersebut. 

          Sejak saat itu Sanghiyang Borosngora menjadi pemeluk agama Islam dan mempelajari serta memperdalam keislamannya hingga menjalankan rukun islam ke-5 yaitu ibadah haji. Barulah kemudian beliau kembali ke Panjalu untuk menyebarkan agama islam dan mengislamkan rakyatnya. Sebelum pulang Sayidina Ali menghadiahkan sebilah pedang dan tongkat (cis) serta air zam-zam yang dapat mengisi penuh gayung bungbas (gayung bungbas adalah gayung seloka yang tidak beralas). 

         Air zam-zam ini kemudian ditumpahkan oleh Sanghyang Borosngora di sebuah lembah bernama Pasir Jambu yang mengelilingi sebuah pulau kecil, kemudian lembah itu airnya bertambah banyak dan terjadilah danau yang sekarang terkenal dengan sebutan Situ Lengkong Panjalu. Banyak orang meyakini air Situ Lengkong Panjalu adalah air zam-zam dari tanah suci Makkah. Para peziarah yang datang biasanya membawa tempat air untuk membawa air ke tempat tinggalnya. Bahkan, ada juga penyedia jasa tempat air seperti botol bekas air mineral di sekitar Situ Lengkong Panjalu.

Panjalu adalah sebuah kecamatan di wilayah Provinsi Jawa Barat, tepatnya di Kabupaten Ciamis. Pada awalnya kecamatan Panjalu memiliki 13 Desa, namun setelah adanya pemekaran kecamatan dengan terbentuknya kecamatan Sukamantri, kecamatan Panjalu kini terdiri dari 8 Desa, 60 Dusun, 121 RW dan 287 RT (Sumber: Podes Daerah 2008 Kab.Ciamis).

Panjalu adalah salah satu kawasan tujuan wisata di Kabupaten Ciamis selain Pangandaran yang terkenal dengan pantainya. Panjalu memiliki objek wisata diantaranya Situ Lengkong Panjalu dan Curug Tujuh.

Situ lengkong Panjalu adalah danau seluas kurang lebih 160 Ha dengan kedalaman 5-8 meter. Ditengah situ/danau terdapat pulau kecil/nusa yang disebut dengan Nusa Gede. Bukan hanya Situ Lengkong dan Nusa Gede saja, disekitar Situ Lengkong Panjalu juga terdapat tempat-tempat lainnya seperti Nusa Pakel dan Bumi Alit. Khusus Bumi Alit, tempatnya agak jauh dari Situ Lengkong. Bumi Alit sendiri merupakan musium tempat penyimpanan benda-benda pusaka Kerajaan Panjalu.

Setiap tahun tepatnya pada bulan Maulud, di Panjalu selalu dilaksanakan Upacara Adat Nyangku. Nyangku adalah rangkaian tradisi yang dilakukan masyarakat Panjalu dalam rangka memperingati Maulud Nabi Muhammad saw. Tradisi ini dimulai dengan pengajian/dzikir pada malam hari dan pada pagi hari dilakukan arak-arakan sambil sholawatan yang diiringi dengan gembyungan dan genjringan, kemudian ditutup dengan upacara membersihkan benda-benda pusaka Kerajaan Panjalu melalui suatu upacara adat. Kata Nyangku itu sendiri memiliki arti : Membersihkan Diri.

bookmark
bookmark
bookmark
bookmark
bookmark